The Bakiak


Peringatan hari kemerdekaan selalu dimeriahkan dengan perlombaan yang unik, meski terkadang nyeleneh, dan seperti itu setiap tahunnya. Saya menyebutnya keunikan yang diulang-ulang. Bisa jadi membosankan dan membuat sebagian orang malah nyinyir.

Begitu juga saat saya mendapat info bahwa saya terpilih untuk mewakili instansi kerja menjadi “atlet” bakiak, ada perasaan aneh yang menyelimuti. Saya senang, namun … Ada semacam ketawa jahat dari orang-orang saat saya dengan bangganya menyebut diri ini sebagai atlet.

Sebagai atlet, saya juga mendapat pembinaan serta latihan semi-rutin bersama kedua rekan saya. Saya bertekad menampilkan diri terbaik, meski hanya dipandang sebagai atlet bakiak.

Bakiak sendiri adalah sandal kayu yang dililit oleh karet dari ban bekas. Teklek. Itulah nama yang dulu sewaktu kecil saya mengenalnya. Meski tidak pernah memilikinya, namun pernah tahu dan mencobanya.

Hanya saja saat digunakan dalam perlombaan, bakiak yang harusnya digunakan oleh satu orang saja terus dimodifikasi untuk dapat digunakan oleh lebih dari satu orang. Bisa dua, tiga, empat sampai lima orang. Dalam perlombaan yang saya ikuti dan diselenggarakan oleh Kecamatan Mijen, bakiak diperuntukkan untuk tiga atlet.

Sabtu, 11 Agustus 2018, pertandingan bakiak digelar. Jika dilihat dari animo peserta lain dan penonton, sungguh pertandingan ini tidak menjanjikan apa-apa. Di arena laga hanya sedikit orang. Bahkan nyaris hanya atlet bakiak itu sendiri.

Saya senang karena official tim kami sangat peduli. Memberi dukungan semangat dan konsumsi. Meski tidak menargetkan untuk meraih “emas”, saya tak ingin meremehkan diri sendiri. Menjadi atlet bakiak adalah semacam laku hidup bahwa kita tidak boleh meremehkan diri dalam melakukan apapun hal meski itu hanya recehan belaka.

Sebelum pertandingan, saya sempatkan untuk melakukan pemanasan. Belum sampai panas-panas kuku, mungkin; tapi setidaknya sudah menyiapkan diri untuk “on fire”. Kami juga sempat melakukan satu kali “gladi resik” menggunakan bakiak yang telah disediakan di arena.

Di babak penyisihan kami berhadapan dengan dua tim lain yang tidak boleh diremehkan. Kami melesak seperti seluncur yang melaju di atas salju yang menurun tajam. Berada di posisi pertama. Naas, beberapa detik sebelum mencapai garis finish, dua karet yang menahan kaki saya agar tetap berada di  atas kayu, lepas. Jebol. Rusak. Putus, kedua-duanya.

Tim saya hendak di-diskualifikasi karena kaki pemain harus tetap berada di atas bakiak selama berada di medan laga. Saya mengacung-acungkan bakiak yang rusak itu kepada juri. Yang lainnya berteriak untuk memberi tahu bahwa bakiak yang dipakai tim kami rusak. Kami tak jadi di-diskualifikasi. Hanya perlu mengikuti penyisihan ulang di putran berikutnya. Berhadapan dengan dua tim lain yang tidak bisa diremehkan begitu saja.

Saat penyisihan ulang, kami melenggang kangkung dengan mudah. Bakiak meluncur dengan cepat dan pasti. Meninggalkan tim lain yang “terengah-engah”. Dengan pasti, kami pun masuk ke babak semi final.

Di babak semi final, saya masih dengan penuh semangat dan keyakinan. Memulai start dengan baik, namun entah mengapa laju kami tak lurus. Agak serong ke kiri. Terus terang ada kekuatiran tak finish pertama. Ternyata, tim saya masih memimpin. Saya pun bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Duh, senangnya.

Menghadapi partai puncak, ada banyak hal yang terlintas di dalam benak. Silih berganti menyusupi pikiran dan perasaan. Apa itu? Tak akan saya ceritakan. Ada banyak orama rasa yang berkelindan. Yang jelas, tenaga saya sudah mulai menurun. Terlebih, sejak pagi tak ada selera makan. Dengan berbagai pertimbangan saya pun memaksakan diri untuk makan. Membeli di kantin sekolah. Saya tak mau kerja keras ini sia-sia hanya karena kekurangan tenaga. Saya beli dua, namun hanya memakan satu wadah nasi ala-ala.

Tim kami sudah bersiap di posisi. Sejak mula, saya ditempatkan di depan. Menunggu aba-aba dari wasit, rasanya lama sekali. Sementara degup jantung terasa menderu. Detik-detik meluapkan euforia kegembiraan sudah berapa di garis finish di sana. Ah, lagi-lagi banyak hal berkelindan. Menjadikan saya kurang fokus. Dengan menarik nafas panjang, sekali lagi saya atur konsentrasi.

Saat wasit usai meneriakkan aba-aba, tim saya langsung melaju meninggalkan tim lawan. Iya, tim saya memimpin. Melesak dengan cepat. Namun sungguh di luar dugaan. Pada detik ke-delapan, hanya sekitar satu setengah meter dari garis finish, terjadilah insiden itu. Kaki kanan saya seperti ada yang menahan, begitu pula dengan kaki kiri. Saya pun terjatuh. Sakit? Iya, namun lebih sakit dengan “hantu-hantu” pikiran dan perasaan yang tiba-tiba masuk dan merasuk. Rasanya tak kuat untuk berdiri, tapi saya harus kuat berdiri dan berjalan.

Rupanya ada Kaf, anak saya, yang menyaksikan. Saya pun menghampiri Kaf yang juga menghampiri saya. Saya memeluknya. Lalu, menggendongnya ke sana ke mari. Sungguh pelukan yang menenangkan. Ibunya Kaf menghampiri. Meminta izin untuk mengikuti rapat di sekolah Kenzie. Kaf saya serahkan kepada ibunya.

Saya pun segera berpamitan dan mengucap terima kasihkepada official tim saya, patner atlet “The Bakiak”, dan orang-orang yang berada di sekitar saya saat itu. Saya kembali ke tempat kerja saya. Berjalan gontai, tertatih sambil menahan “rasa” nyeri.

Sesampainya di tempat kerja, saya pun menyendiri. Memeriksa apa-apa yang perlu saya periksa. Berusaha membebaskan perasaan dan pikiran yang perlu saya bebaskan. Lalu, berpamitan dan pulang. Bukan untuk langsung pulang ke rumah, tetapi meminta tolong kepada seseorang untuk membantu menyembuhkan nyeri di tubuh akibat terjatuh. Seseorang yang punya keahlian memijit. Amazingnya, inilah pertama kali saya sejak remaja meminta bantuan ahli pijit untuk memijit tubuh saya.

Dan, memang benar kata orang-orang bahwa nyeri dan ngilu di tubuh mudah disembuhkan. Akan tetapi, menyembuhkan nyeri dan ngilu di tempat “lainnya”, sungguh sulit. Dan, hanya saya yang bisa melakukannya karena tidak ada orang lain yang dapat membantunya. Mudah-mudahan bisa dan segera.

Selamat juara dua bagi The Bakiak.

 

Jatisari, 130820181339

Tinggalkan komentar